Senin, 20 Januari 2014

MANAJEMEN PERMODALAN BANK SYARI’AH


A.    MANAJEMEN PERMODALAN BANK SYARI’AH
Sebagaimana diketahui bersama, bank adalah  lembaga kepercayaan. Sehubungan dengan persoalan kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut, maka manajemen bank harus menggunakan semua perangkat  operasionalnya untuk mampu menjaga kepercayaan masyarakat itu.[1] Salah satu perangkat yang sangat strategis dalam menopang kepercayaan itu adalah permodalan yang cukup memadai. Modal merupakan factor yang amat penting bagi perkembangan dan kemajuan bank sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, modal juga harus dpaat digunakan untuk menjaga kemungkinan terjadinya risiko kerugian atas investasi pada aktiva, terutama yang berasal dari mana-mana pihak ketiga atau masyarakat. Peningkatan peran aktiva sebagai penghasil keuntungan harus secara simultan dibarengi dengan pertimbangan risiko yang mungkin timbul guna melindungi kepentingan para pemilik modal.
Menurut Zainul Arifin secara tradisional, modal didefinisikan sebagai sesuatu yang mewakili kepentingan pemilik dalam suatu perusahaan.[2] Berdasarkan nilai buku, modal didefinisikan sebagai kekayaan bersih yaitu selisih antara nilai buku dari aktiva dikurangi dengan nilai buku dari kewajiban.[3] Sumber modal dari pemegang saham tersebut juga berpengaruh pada posisinya didalam neraca. Didalam neraca, sumber modal pada sisi pasiva bank, yaitu rekening modal dan cadangan.
Rekening modal berasal dari setoran para pemegang saham, sedangkan rekening cadangan adalah berasal dari bagian keuntungan yang tidak dibagiakn kepada pemegang saham, yang digunakan untuk keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan usaha dan untuk menjaga likuiditas karena adanya kredit-kredit yang diragukan atau menjurus kepada macet.
B.     FUNGSI MODAL BANK
Bank sebagai unit bisnis membutuhkan darah bisnis, yaitu berbentuk modal.  Dengan kata lain, modal bank adalah aspek penting bagi suatu unit bisnis bank.  Sebab beroperasi tidaknya atau dipercaya tidaknya suatu bank, salah satunya sangat dipengarui oleh kondisi kecukupan modalnya. Menurut Johnson and Johnson, modal bank mempunyai tiga fungsi.[4] Lebih lanjut mereka menjelaskan sebagai berikut:
1.      Sebagai penyangga untuk menyerap kerugian operasional dan kerugian lainya. Dalam fungsi ini modal memberikan perlindungan terhadap kegagalan atau kerugian bank dan perlindungan terhadap kepentingan para deposan.
2.      Sebagai dasar untuk menetapkan batas maksimum pemberian kredit. Hal ini adalah merupakan pertimbangan operasional bagi bank sentral, sebagai regulator, untuk membatasi jumlah pemberian kredit kepada setiap individu nasabah bank.
3.      Modal juga menjadi dasar perhitungan bagi para partisipan pasar untuk mengevaluasi tingkat kemampuan bank secara relative untuk menghasilkan keuntungan.
C.    SUMBER-SUMBER PERMODALAN BANK
Sebagaimana disinggung diatas, untuk mendapatkan modal bank dapat diperoleh  dari berbagai sumber. Modal bank menurut George H Hempel, dkk. Dibagi dalam tiga bentuk utama yaitu:
1.      Pinjaman subordinasi
2.      Saham preferen
3.      Saham biasa.[5]
Beberapa jenis pinjaman subordinasi dan saham preferen dapat dikonversikan menjadi saham biasa, dan saham biasa dapat dikembangkan, baik secara eksternal maupun internal. Menurut Hempel sumber-sumber tersebut dijelaskan sebagai berikut: Pinjaman subordinasiPinjaman ini terdiri dari semua bentuk kewajiban berbunga yang dibayar kembali dalam jumlah yang pasti (fixed) dalam jangka waktu tertentu. Bentuk pinjaman subordinasi bervariasi dari Capital Netes sampai Debenture  dengan jangka waktu yang lebih panjang.
D.    SUMBER PERMODALAN BANK SYARI’AH
Sumber-sumber modal yang diuraikan diatas, adalah konsep teori permodalan  pada bank konvensional. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah sumber-sumber permodalan untuk bank syari’ah yang sekarang menjadi kajian buku ini sama perlakuannya atau pengkategoriannya? Untuk menjawab permasalahan ini, Antonio menejelaskan sebagai berikut dalam pandangan syari’ah, modal pinjaman  itu termasuk dalam kategori Qard, yaitu pinjaman harta yang dapat diminta kembali. Dalam literature fiqih Salaf Ash Shalih, Qard dikategorikan dalam Aqad tathawwu’ atau akat saling membantu dan bukan transaksi komersial.[6]
Sumber utama modal bank syari’ah adalah modal inti (core capital) dan kuasi ekuitas. Modal inti adalah modal yang berasal dari para pemilik bank, yang terdiri dari modal yang disetor oleh para pemegang saham, cadangan dan laba ditahan. Sedangkan kuasi ekuitas adalah dana-dana yang tercatat dalam rekening-rekening bagi hasil (mudharabah). Modal inti inilah yang berfungsi sebagai penyangga dan penyerap kegagalan atau kerugian bank dan melindungi kepentingan para pemegang rekening titipan (wadiah) atau pinjaman (qard), terutama atas aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan dana-dana wadi’ah atau qard. Dana-dana rekening bagi hasil (mudharabah), sebenarnya juga dapat dikategorikan sebagai modal, inilah yang biasanya disebut dengan kuasi ekuitas. Namun demikian rekening ini hanya dapat menanggung risiko atas aktiva yang dibiayai oleh dana dari rekening bagi hasil itu sendiri. Selain itu, pemilik rekening bagi hasil dapat menolak untuk menanggung risiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila terbukti bahwa risiko tersebut timbul akibat salah urus, kelalaian atau kecurigaan yang dilakukan oleh manjemen bank selalu mudharib.
Modal merupakan bagian dari dana yang dapat digunakan bank dalam aktivitas kesehariannya. Hal penting berkaitan dengan masalah dana adalah bagaimana melakukan aktivitas manajemen dana. Manajemen dana adalah proses pengelolaan, penghimpunan dan pengalokasian dana masyarakat serta dana modal untuk mendapatkan tujuan bank syari’ah secara efektif dan efisien.
E.     KECUKUPAN MODAL BANK SYARI’AH
Sebab kecukupan modal bank menunjukan keadaanya yang dinyatakan dengan suatu rasio tertentu yang disebut ratio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Tingkat kecukupan modal ini dapat diukur dengan cara:[7]
1.      Membandingkan modal dengan dana-dana pihak ketiga
Dilihat dari sudut perlindungan kepentingan para deposan, perbandingan antara modal dengan pos-pos pasiva merupakan petunjuk tentang tingkat keamanan simpanan masyarakat pada bank. Perhitungannya merupakan rasio modal dikaitkan dengan simpanan pihak ketiga (giro, deposito dan tabungan) sebagai berikut:


= 10%
 
 
Modal dan cadangan
Giro + Deposito +Tabungan
2.      Membandingkan modal dengan aktiva berisiko
Ukuran kedua inilah yang dewasa ini menjadi kesepakatan BIS (Bank For International Settlements) yaitu organisasi bank sentral dari Negara-negara maju yang disponsori oleh Amerika Serikat, Kanada, Negara-negara Eropa Barat dan Jepang. Kesepakatan ini dilatar belakangi  oleh hasil pengamatan para ahli perbankan Negara-negara maju, termasuk para pakar IMF dan World Bank, tentang adanya ketimpangan struktur dan system perbankan internasional.
F.     PENERAPAN CAR UNTUK PERBANKAN INDONESIA[8]
Baik bank nasional maupun internasional harus memenuhi rasio kecukupan modalnya. Sebagaimana disinggung sebelumnya, CAR merupakan  aspek terpenting bagi dunia perbankan. Sehubungan dengan hal itu, maka sub makalah ini akan membicarakan aspek-aspek penting bagi perbankan Indonesia, yaitu:
1.      Pengertian modal
Sebagaimana disinggung sebelumnya, modal bank dibagi kedalam modal inti dan modal pelengkap, modal inti (tier I) terdiri dari:
a)      Modal setor, yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemilik. Bagi bank milik koperasi modal setor terdiri dari simpanan pokok dan simpanan wajib para anggotanya.
b)      Agio saham, yaitu selisih lebih dari harga saham dengan nilai nominal saham.
c)      Modal sumbangan, yaitu modal yang diperoleh kembali dari sumbangan saham, termasuk selisih nilai yang tercatat dengan harga (apabila saham tersebut dijual).
d)     Cadangan umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yagn ditahan dengan persetujuan RUPS.
e)      Cadangan tujuan, yaitu bagian laba setelah pajak yang diselisihkan untuk tujuan tertentu atas persetujuan RUPS.
f)       Laba ditahan, yaitu saldo laba bersih setelah pajak yang oleh RUPS diputuskan untuk tidak dibagikan.
g)      Laba tahun lalu, yaitu laba bersih tahun lalu setelah pajak, yang belum ditetapkan penggunaanya oleh RUPS.
h)      Laba tahun berjalan, yaitu laba sebelum pajak yang diperoleh dalam tahun berjalan.
1)      Laba ini diperhitungkan hanya 50% sebagai modal inti.
2)      Bila tahun berjalan rugi, harus dikurangkan terhadap modal inti.
i)        Bagian kekayaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan, yaitu modal inti anak perusahaan setelah dikompensasikan dengan pertanyaan bank pada perusahaan tersebut.[9]
Modal pelengkap (tier 2)
Modal  pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk bukan dari laba setelah pajak serta pinjaman sifatnya dipersamakan dengan modal. Secara terinci modal pelengkap dapat berupa:
a.       Cadangan revaluasi aktiva tetap
b.      Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan
c.       Modal pinjaman yang mempunyai ciri-ciri:
1.      Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan dipersamakan dengan modal dan telah dibayar penuh.
2.      Tidak dapat dilunasi atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan BI.
3.      Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal memikul kerugian bank.
4.      Pembayaran bunga dapat ditangguhkan bila bank dalam keadaan rugi.
2.      Tatacara perhitungan kebutuhan modal minimum
Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Yang dimaksud dengan aktiva dalam perhitungan  ini mencakup baik aktiva yang tercantum dalam neraca maupun aktiva yang bersifat administrasi sebagaimana tercermin dalam kewajiban yang masih bersifat kontingen  dan atau komitmen yang disediakan bagi pihak ketiga.
Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut ditetapkan bobot risiko yang besarnya didasarkan pada kadar risiko yang terkandung dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan atas penggolongan nasabah, penjamin atau sifat barang jaminan.
G.    KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF (KAP)
Bank syari’ah adalah lembaga keuangan yang cukup unik. Sebab dalammekanisme produknya dapat dilakukan dengan cara jual beli atau memberikan dana untuk investasi. Hal ini dapat dijalani oleh bank selain bank syari’ah. Dengan demikian, beragamnya model transaksi tersebut menunjukan peluang besarnya aktiva yang dapat diproduktifkan. Sehubungan dengan kondisi aktiva produktif bank syari’ah dapat dibedakan menjadi beberapa macam diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Piutang penjualan (murabahah) dan sewa (ijarah)
2.      Investasi pada:
a)      Musyarakah
b)      Mudharabah
c)      Salam
d)     Istishna’
e)      Persediaan
f)       Aktiva yang disewakan.[10]
Kualitas piutang penjualan (murabahah)dan sewa (ijarah)didasarkan pada kemampuan membayar, kondisi keuangan dan prospek usaha. Demikian juga kualitas investasi pada musyarakahdan mudharabah dapat didasarkan atas tingkat kesesuaian antara realisasi bagi hasil dengan proyeknya, kondisi keuangan dan prospek usaha. Dalam pembiayaan mudharabah, bank dapat menolak untuk menanggung risiko, bila ternyata diakibatkan oleh kesengajaan, kelalaian atau pelanggaran oleh nasabah sebagai mudharib. Berdasarkan hal tersebut, maka factor jaminan dalam pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan untuk menutup risiko tersebut.
Salam dan istishna’ adalah cara untuk memperoleh barang dengan membayar dimuka sedangkan barangnya akan diterima kemudian hari, dan bukan aktiva produktif. Oleh karena itu tidak dieprlukan perhitungan KAPnya. Sedangkan untuk masalah pencadangannya diatur dalam standar akuntansi sebagaimana unsur aktiva lain (seperti aktiva dalam proses). Demikian pula halnya dengan persediaan dan aktiva yang disewakan.

BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Laba bukan hanya untuk kepentingan pemilik atau pendiri, tetapi juga sangat penting untuk mengembangkan usaha bank syari’ah. Laba bank syari’ah terutama diperoleh dari selisih antara pendapatan atas penanaman dana dan biaya-biaya yang dikeluarkan  selama periode tertentu.
Untuk dapat memperoleh hasil yang optimal, bank syari’ah dituntut untuk melakukan pengelolaan dananya secara efisien dan efektif, baik atas dana-dana yang dikumpulkan dari masyarakat (Dana Pihak Ketiga), serta dana modal pemilik/pendiri bank syari’ah maupun atas pemanfaatan atau penanaman dana tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia, Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/I/BPPP tanggal 29 Mei 1993.
Frank P. Johnson dan Richard D. Johnson, Commercial Bank Management, New York: The Dryden Pres, 1985.
George H. Hempel, Alan B. Coleman dan Donal G. Simonson, Bank Management, Text and Case, New York: John Wiley & Sons, 1986.
Muhammad, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005.
Muhammad Syafe’I Antonio, Bank Syari’ah, Wacana Ulama dan Cendekiawan, Jakarta: Diterbitkan Atas Kerjasama BI dan Tazkia Institute,1999.
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alfabeta, 2002.


[1]Muhammad, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005, hal, 244.
[2]Zainal Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah,  Jakarta: Alfabeta, 2002, hal. 157.
[3]Ibid
[4]Frank P. Johnson dan Richard D. Johnson, Commerscial Bank Manajement, New York: The Dryden Press, 1985, hal. 331-332.
[5]George H. Hempel, Alan B. Coleman dan Donal G. Simonson, Bank Manajemen, Text and Case, New York: JohnWiley & Sons, 1986, hal. 168-169.
[6]Muhammad Syafe’I Antonio, Bank Syari’ah, Wacana Umum dan Cendekiawan, Jakarta: Diterbitkan atas kerja sama BI dan Tazkia Institute, 1999, hal. 223.
[7]Zainul Arifin, Op Cit, hal. 248
[8]Muchdaryah Sinungan, Strategi Manajemen Bank, Menghadapi Tahun 2000, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal. 131-132.
[9]Muhammad, op cit, hal. 249-250.
[10]Muhammad, log cit, hal. 257.

MANAJEMEN DANA BANK SYARI’AH


A.    MANAJEMEN DANA BANK SYARI’AH
Manajemen dana bank syari’ah adalah upaya yang dilakukan oleh lembaga bank  syari’ah dalam mengelola atau mengatur posisi dana yang diterima dari aktivitas funding untuk disalurkan kepada aktivitas financing, dengan harapan bank yang bersangkutan tetap mampu memenuhi criteria-kriteria likuiditas, rentabilitas dan solvabilitasnya.[2] Sebagaimana halnya dengan bank konvensional, bank syari’ah juga mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara satuan-satuan kelompok masyarakat atau unit-unit ekonomi yang mengalami kelebihan dana (surplus unit) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan dana (deficit unit).
Berbeda dengan bank konvensional, hubungan antara bank syari’ah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kredit, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahibul mal) dengan pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu, tingkat laba Bank Syari’ah bukan saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga berpengaruh terhadap hasil-hasil yang dapat diberikan kepada nasabah menyimpan dana. Dengan demikian, kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai penyimpan harta, pengusaha dan pengelola investasi yang baik akan sangat nenentukan usahanya sebagai lembaga intermediary dan kemampuanya menghasilkan laba.[3]
Pokok-pokok permasalahan manajemen dana bank pada umumnya dan bank syari’ah pada khususnya adalah sebagai berikut:
1.      Berapa memperoleh dana dan dalam bentuk apa dengan biaya yang relative murah
2.      Berapa jumlah dana yang ditanamkan dan dalam bentuk apa untuk memperoleh pendapatan yang optimal
3.      Berapa besarnya dividen yang dibayarkan yang dapat memuaskan pemilik/pendiri dan laba ditahan yang memadai untuk pertumbuhan Bank Syari’ah.
Dari permasalahan yang ada diatas, maka manajemen dana bank syari’ah mempunyai tujuan sebagai berikut:
1.      Memperoleh profit yang optimal
2.      Menyediakan aktiva cair dan kas yang memadai
3.      Menyimpan cadangan
4.      Mengelola kegiatan-kegiatan lembaga ekonomi dengan kebijakan yang pantas bagi seseorang yang bertindak sebagai pemelihara dana-dana orang lain
5.      Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembiayaan.[4]
Bank syari’ah dirancang untuk melakukan fungsi pelayanan sebagai lembaga keuangan bagi para nasabah dan masyarakat. Untuk itu, bank syari’ah harus mengelola dana yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Kekayaan bank syari’ah dalam bentuk:
a)      Kekayaan yang menghasilkan (Aktiva Produktif) yaitu pembiayaan untuk debitur serta penempatan dana dibank atau investasi lain yang menghasilkan pendapatan.
b)      Kekayaan yang tidak menghasilkan yaitu kas dan investasi (harta tetap).
2.      Modal bank syari’ah berasal dari:
a)      Modal sendiri yaitu simpanan pendiri (modal), cadangan dan hibah, infaq/shadaqah.
b)      Simpanan/hutang dari pihak lain.
3.      Pendapatan usaha keuangan bank syari’ah berupa bagi hasil atau mark up dari pembiayaan yang diberikan dan biaya administrasi serta jasa tabungan bank syari’ah di bank.
4.      Biaya yang harus dipikul oleh bank syari’ah yaitu biaya operasi, biaya gaji, manajemen, kantor dan bagi hasil simpanan nasabah penabung.
B.     SUMBER-SUMBER DANA BANK SYARI’AH
Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank dalam bentuk tunai,  atau aktiva lain yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank tidak hany berasal dari para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga berasal dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak lain yang sewaktu-waktu atau pada suatu tertentu  akan ditarik kembali, baik sekaligus ataupun secara berangsur-angsur.
Berdasarkan data empiris selama ini, dana yang berasal dari para pemilik bank itu sendiri, ditambah cadangan modal yang berasal dari akumulasi keuntungan yang ditanam kembali pada bank, hanya sebesar 7 sampai 8% dari total aktiva bank.  Bahkan di Indonesia rata-rata jumlah modal dan cadangan yang dimiliki oleh bank-bank belum pernah melebihi 4% dari total aktiva. Ini berarti bahwa sebagian besar modal kerja bank berasal dari masyarakat, lembaga keuangan lain dan pinjaman likuiditas dari bank sentral.[5]
Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar, baik secara langsung melalui transaksi seperti perdagangan, industry manufaktur, sewa menyewa dan lain-lain, atau secara tidak langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut. Dengan demikian, sumber dana bank syari’ah terdiri dari beberapa macam diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Modal inti (core capital)
Modal inti adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yaitu pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri dari:[6]
a.       Modal yang disetor oleh para pemegang saham, sumber utama dari modal perusahaan adalah saham. Sumber dana ini hanya akan timbul apabila pemilik menyertakan  dananya pada bank melalui pembelian saham, dan untuk penambahan dana berikutnya dapat dilakukan oleh bank dengan mengelurkan dan menjual tambahan saham baru.
b.      Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya risiko kerugian di kemudian hari.
c.       Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana modal lebih lanjut.
2.      Kuasi ekuitas (mudharabah account)
Bank menghimpun dana berbagai hasil atas dasar prinsip mudharabah, yaitu akad kerjasama antara pemilik dana (shahibul mal) dengan pengusaha (mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara keduanya dengan perbandingan (nisbah) yang telah disepakati sebelumnya.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi para investor berupa:
a.       Rekening investasi umum
Dimana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk investasi berdasarkan prinsip mudharabah mutlaqah. Simpanan diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1,3,6, 12, 24 bulan dan seterusnya.  Dalam hal ini, bank bertindak sebagai Mudharib dan nasabah bertindak sebagai shahibul mal, sedangkan keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan nisbah tertentu.
b.      Rekening investasi khusus
Dimana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu  yang mereka setujui atau mereka kehendaki.
c.       Rekening tabungan Mudharabah
Prinsip Mudharabah juga digunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabungan. Salah satu syarat mudharabah adalah bahwa dana harus dalam bentuk uang dalam jumlah tertentu dan diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu, tabungan mudharabah tidak dapat ditarik sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah. Dengan demikian tabungan mudharabah biasanya tidak diberikan fasilitas ATM, karena penabung tidak dapat menarik dananya dengan leluasa.
3.      Titipan (wadi’ah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit)[7].
Menurut Zainul Arifin, dana titipan (wadi’ah) ini dikembangkan dalam bentuk rekening giro Wadi’ah dan rekening tabungan wadi’ah[8]. Dengan penjelasan sebagai berikut:
a.       Rekening giro wadi’ah
Bank islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah. Dalam hal ini, bank Islam menggunakan prinsip wadi’ah yad dhomamah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi’ah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan komersial.
Adapun cirri-ciri giro wadi’ah ada beberapa macam diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Bagi pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasikan rekeningnya.
2)      Untuk membuka rekening diperlukan surat referensi nasabah lain atau pejabat bank, dan menyetor sejumlah dana minimum sebagai setoran awal.
3)      Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam Bank Indonesia.
4)      Penarikan dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi tertulis lainnya.
5)      Tipe rekening:
a)      Rekening perorangan
b)      Rekening pemilik tunggal
c)      Rekening bersama (dua orang individu atau lebih)
d)     Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum
e)      Rekening kemitraan
f)       Rekening titipan.
6)      Service lainnya:
a)      Cek istimewa,
b)      Instruksi siaga
c)      Transfer dana otomatis
d)     Kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening dengan rincian transaksi setiap bulan
e)      Konfirmasi saldo dapat dikirimkan oleh bank kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening.
b.      Rekening tabungan wadi’ah
Prinsip wadi’ah yad dhomamah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungannya, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasan tertentu untuk menariknya kembali. Adapun cirri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut:
1)      Menggunakan buku atau kartu ATM
2)      Besarnya setoran pertama dan saldo minimum yang harus mengendap tergantung pada kebijakan masing-masing bank
3)      Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja
4)      Pembayaran bonus dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
C.    SUMBER DAN ALOKASI PENDAPATAN
Dari hal ini perlu dipertimbangkan sumber-sumber pendapatan yang diperoleh bank syari’ah.
1.      Sumber pendapatan bank syari’ah
Sesuai dengan akad-akad penyaluran pembiayaan di bank syari’ah, maka hasil penyaluran dana tersebut memberikan pendapatan bank. Hal ini dikatakan sebagai sumber-sumber pendapatan bank syari’ah. Dengan demikian, sumber pendapatan bank syari’ah dapat diperoleh dari:
a)      Bagi hasil atas kontrak mudharabah dan kontrak musyarakah
b)      Keuntungan atas kontrak jual –beli (al-bai’)
c)      Hasil sewa atas kontrak ijarah dan ijarah wa iqtina’
d)     Fee dan biaya administrasi atas jasa-jasa lainnya.[9]
2.      Pembagian keuntungan (profit Distribution)
Pendapatan-pendapatan yang dihasilkan dari kontrak pembiayaan, setelah dikurangi dengan biaya-biaya operasional, harus dibagi atau di distribusikan antara bank dengan para penyandang dana, yaitu nasabah investasi, para penabung, dan para pemegang saham sesuai dengan nisbah bagi hasil yang diperjanjikan. Bank juga dapat menentukan nisbah bagi hasil yang sama atas semua tipe, investasi yang dipilih oleh nasabah.[10]
Berdasarkan kesepakatan mengenai nisbah bagi hasil antara bank dengan para nasabah tersebut, bank akan mengalokasikan penghasilannya dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a)      Tahap pertama bank menetapkan jumlah relative masing-masing dana simpanan yang berhak atas bagi hasil usaha bank menurut tipenya, dengan cara membagi setiap tipe dana-dana dengan seluruh jumlah dana-dana yang ada pada bank dikalikan 100%.
b)      Tahap kedua, bank menetapkan jumlah pendapatan bagi hasil bagi masing-masing tipe dengan cara mengalikan persentase dari masing-masing dana simpanan pada huruf a dengan jumlah pendapatan bank.
c)      Tahap ketiga bank menetapkan porsi bagi hasil untuk masing-masing tipe dana simpanan sesuai dengan nisbah yang diperjanjikan.
d)     Tahap keempat bank harus menghitung jumlah relative operasional terhadap volume dana, kemudian mendistirbusikan beban tersebut sesuai dengan porsi dana dari masing-masing tipe simpanan.
e)      Tahap kelima bank mendistribusikan bagi hasil untuk setiap pemegang rekening menurut tipe simpanannya sebanding dengan jumlah simpanannya.
D.    MENGHITUNG KEUNTUNGAN BERSIH BANK
Seberapa jauh bank syari’ah dapat menjalankan aktivitas manajerial secara efisien. Tingkat efisiensi manajerial bank sangat ditentukan oleh seberapa besar tingkat keuntungan bersih bank. Dari tingkat keuntungan bersih dibandingkan dengan kondisi asset dan ekuitas dapat dijadikan ukuran efisiensi manajerial bank. Tingkat keuntungan bersih (net income) yang dihasilkan oleh bank dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat dikendalikan (controllable factors) dan factor-faktor yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable factors).
Controllable factors adalah factor-faktor yang dapat dipengaruhi oleh manajemen seperti segmentasi bisnis (orientasinya kepada wholesale dan retail), pengadaan pendapatan (tingkat bagi hasil, keuntungan atas transaksi jual beli, pendapatan fee atas layanan yang diberikan) dan pengendalian biaya-biaya. Uncontrollable factors  atau factor-faktor eksternal adalah factor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja bank seperti kondisi ekonomi secara umum dan situasi persaingan di lingkungan wilayah operasinya. Bank tidak dapat mengendalikan factor-faktor eksternal, tetapi mereka dapat membangun fleksibilitas dalam rencana operasi mereka untuk menghadapi perubahan factor-faktor eksternal.
Ada dua rasio yang biasanya dipakai untuk mengukur kinerja bank yaitu return on assets (ROA) dan return on equity (REO). RAO adalah perbandingan antara pendapatan bersih dengan rata-rata aktiva. ROE didefinisikan sebagai perbandingan antara pendapatan bersih dengan rata-prata modal atau investasi para pemilik bank. Dari perbandingan pra pemilik, ROE adalah ukuran yang lebih penting karena merefleksikan kepentingan kepemilikian mereka. Keuntungan bagi para pemilik bank adalah merupakan dari tingkat keuntungan dari asset dan tingkat leverage yang dipakai. Hubungan antara ROA dan leverage dapat digambarkan sebagai berikut:[11]
Return On Asset x Leverage Multiplier = Return On Equity
    Net Income             x         Average Assets     = ROE
Average Assets                          Capita
           
Apabila bank dapat menghasilkan pendapatan bersih dari asetnya (ROA) sebesar 1%, sedangkan  leverage-nya adalah 15 maka:
ROE = 1% x 5
        = 15%.
Hal ini dapat dicapai oleh bank karena tingkat leverage  yang digunakan oleh bank  adalah tinggi, dimana 14/15 bagian dari asetnya didanai oleh dana pinjaman bari piak ketiga dan 1/15 bagian saja yang merupakan modal dari pemilik. Bagi bank syari’ah, sumber yang paling dominan bagi pembiayaan asetnya adalah dana investasi, yang dapat dibedakan antara investasi jangka panjang (permanen) dari para pemilik dan investasi jangka pendek (Tempore) dari para nasabah (rekening mudharabah).
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa Kegiatan bank mengumpulkan dana disebut dengan kegiatan Funding. Sementara kegiatan menyalurkan dana kepada masyarakat oleh bank disebut dengan financing dan lending. Dalam menjalankan dua aktivitas besar tersebut, bank syari’ah harus menjalankan sesuai dengan pengumpulan dan penyaluran dana menurut Islam. Namun bagi syari’ah, disamping harus memenuhi tuntutan kaidah Islam, juga mengikuti kaidah hukum perbankan yang berlaku dan telah diatur oleh bank sentral.
Berdasarkan data empiris selama ini, dana yang berasal dari para pemilik bank itu sendiri, ditambah cadangan modal yang berasal dari akumulasi keuntungan yang ditanam kembali pada bank, hanya sebesar 7 sampai 8% dari total aktiva bank.  Bahkan di Indonesia rata-rata jumlah modal dan cadangan yang dimiliki oleh bank-bank belum pernah melebihi 4% dari total aktiva.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005.
Muhammad, Windu Baskoro, Susilo Priyono dan M. Hanafi, Modul Pelatihan Bank  Syari’ah, yang diselenggarakan oleh STAIN Surakarta, 2000.
Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Jakarta: Jambatan bekerjasama dengan Institut Bankir Indonesia, 2002.
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabeta bekerjasama dengan Tazkia Institut, 2002.


[1] Diambil dari Modul Pelatihan Baitul Mal Wa Tamwil yang ditulis oleh Muhammad, Windu Baskoro, Susilo Priyono dan M.Hanafi, 2000, yang diselenggarakan oleh STAIN Surakarta, dengan beberapa penambahan sub bab.
[2] Ibid
[3] Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabeta bekerjasama dengan  Tazkia Institut, 2002, hal. 51.
[4] Muhammad, op cit, hal. 263.
[5] Muhammad, Manajemen Perbankan Syari’ah, Yogyakarta:  UPP AMP YKPN, 2005, hal.265.
[6] Zainul Arifin, op cit, hal. 54.
[7] Tim Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia,  Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Jakarta: Jambatan bekerjasama dengan Institut Bankir Indonesia, 2002, hal. 57, dengan modifikasi Muhammad.
[8] Zainul Arifin, op cit, hal. 56
[9] Zainul Arifin, op cit, hal .64
[10] Masalah penetapan bobot, belakangan ini Bank Muamalat Indonesia telah melakukan  perubahan. Jika dulu bobot ditetapkan sesuai dengan lamanya dana mengendap di bank, namun sejak tahun 2002 bobot dibuat seragam yaitu sebesar I. Penetapan bobot secara berbeda pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme time value of money.
[11] Muhammad, op cit, hal. 279.